#Reminisce - Memori six: Literature Club
#ULW - [IKKEMAN] [ЯƎMIИIƧƆƎ]
~Story Index : "Click Here"
Written by Uji
=============================================
~Chapter VI
------------------------------
"Literature Club"
------------------------------
Kalau dipikir-pikir, sudah sekitar satu bulan semenjak kedatanganku kesini, desa Kalimaya yang kuanggap misterius. Ya, tidak salah kusebut misterius. Aku bukannya berfikiran negatif tentang desa ini, aku hanya berbicara berdasarkan fakta dan kejadian yang menimpaku setibanya aku di desa ini. Sebut saja kejadian saat aku jatuh terpeleset di tengah-tengah sungai. Aku kadang tertawa memikirkan kejadian tersebut. Aku masih belum mengerti apa yang bisa membuatku repot-repot turun ke sana. Mencari sosok gadis bunuh diri? Yang benar saja! Sampai saat ini bahkan aku belum pernah menemukan mayat atau sekedar mendengar kabar seseorang mati di sungai.
Namun belakangan ini perhatianku kembali direnggut oleh senandung yang dinyanyikan oleh bayangan pada malam hari tadi, senandung itu juga dinyanyikan oleh anak-anak desa yang aku kenal. Ah, haku heran dengan isi kepalaku ini, sepertinya otakku agak terganggu akhir-akhir ini.
"Selesai." Aurora Valentika, dengan wajah manisnya tersenyum lembut kepadaku. Dengan sabar dirinya mengganti perbanku yang sudah agak kusam ini. Butuh sekitar 15 menit baginya untuk mengobati dan mengganti perbanku dengan perban yang baru. Sebenarnya aku bisa saja mengganti perbanku ini sendiri, tapi kan, untuk apa ada UKS di sekolah ini jika tidak dimanfaatkan dengan maksimal.
Tapi sayang sekali aku bukan orang yang seperti itu. Sebenarnya tadi kepalaku agak sedikit pusing dan keadaanku tidak memungkinkan untuk mengganti perban ini sendiri. Lagipula aku ingin sekalian berbicara dengan Aurora. Ada satu hal yang perlu aku tanyakan.
"Jadi, apa itu?" sambil membereskan alat-alat bekas mengobatiku, ia mengagetkanku.
"Maksudmu?" Balasku heran, aku tak mengerti apa yang ia bicarakan.
"Ayolah, kamu kesini pasti bukan cuma untuk sekedar ganti perban, kan?"
Hebat. siapa kamu? Cenayangkah? Aku sempat merinding ketakutan lho, karena kupikir kamu bisa membaca pikiranku.
"Tentang gadis itu lagi ya? Bukannya sudah kuceritakan dengan cukup jelas kemarin? Hmm," Jarinya ia ketuk-ketukan di dagunya, berpose seperti orang yang sedang berfikir, tapi aku tahu kalau sebenarnya ia sedang menggodaku. "Atau kamu bertemu dengan sosok itu lagi?" lanjutnya.
Sepertinya gadis ini perlu mendapat penghargaan karena menebak dengan tepat dua kali berturut-turut. Walaupun sepertinya yang ini tidak terlalu tepat.
"Begini..."
Akupun bercerita dengan lantang apa yang terjadi padaku belakangan ini, aku sebenarnya kurang suka terlalu terbuka dengan seseorang seperti ini, namun dari beberapa buku psikologi yang pernah kubaca, memendam masalah di dalam diri sendiri itu tidak baik bagi kesehatan. Bahkan di negaraku, banyak sekali kasus bunuh diri yang disebabkan karena masalah psikologi seperti ini. Aku tidak ingin seperti mereka, mati dengan masalah yang belum mereka selesaikan.
Kuceritakan pada Aurora tentang kejadian semalam, tentang sosok yang kuikuti malam tadi, tentang senandung, juga tentang percakapan anehku dengan Nadhifa.
Wajah Aurora tampak tidak begitu serius mendengarkan ceritaku, sesekali matanya berkedip tidak konsisten dan kadang tidak fokus, seperti orang yang menyembunyikan sesuatu. Bahkan Reaksi yang ia keluarkan dari mulutnya hanya sebatas "oh." "Ya." "Begitu."
Selesai aku bercerita, ia lalu berdiri dan berjalan mendekat ke jendela. Wajahnya ia biarkan terkena sinar matahari sore yang mulai berwarna kuning keemasan.
Sementara ia berdiri disana, aku duduk tertegun dibelakangnya, melihatnya saat ini seperi melihat sesuatu yang lain dari dirinya. Walaupun aku baru beberapa kali bertemu dengannya, namun aku sudah mulai merasa nyaman dengannya. mungkin karena dia tipe orang yang mudah akrab dengan orang lain, termasuk orang asing sepertiku.
"Ini sepertinya akan selesai dalam waktu dekat." dengan tatapan mata yang tertuju keluar jendela, ia berbicara cukup pelan, tapi aku bisa menangkap perkataannya dengan jelas.
"Jadi, senandung apa itu?" tanyaku.
"Senandung yang mana?"
"Hah!? Kamu beneran dengar ceritaku, kan?"
"Tentu saja, aku hanya menggodamu, pak guru. Senandung yang dinyanyikan anak-anaknya itu kan? Tidak ada yang aneh dengan senandung itu, menurutku. Hanya saja..."
Ia terhenti, tubuhnya menutupi sinar matahari masuk kedalam ruangan, sementara matanya masih menatap keluar jendela. Hanya saja kali ini, sorotan matanya terlihat lebih sendu.
"Eh, bukannya kemarin kamu bilang ditawari jadi pembimbing Klub Literatur ya?" tanyanya sambil membalikan badannya menghadap kepadaku.
Kebiasaan, selalu saja ia mengalihkan pembicaraan. Walaupun aku cukup terkesan juga dengan kemampuannya mengalihkan pembicaraan, ia selalu bisa mencari topik yang membuatku tak bisa membantah.
Aku baru ingat selama ini aku pernah ditawari jadi pembimbing klub, pantas saja aku merasa ada sesuatu yang kulupakan.
"Mendingan kamu temui anak-anak itu, terus mulai kegiatan klub, udah hampir telat lho," Ucapnya.
"Tapi, gimana dengan-"
Belum habis aku menyelesaikan kalimatku, gadis berambut hitam lurus itu mendorong tubuhku keluar ruangan.
-BRUKK-
Suara pintu yang tertutup terdengar sangat kencang. Bahkan burung gereja yang daritadi mencari makan di halaman sekolah terbang berhamburan ke segala arah.
Sialan, apa-apaan gadis itu! Sikapnya mudah sekali berubah. Aku curiga dia punya penyakit mood disorder yang bisa dipicu karena terlalu banyak mengkonsumsi alkohol atau obat psikoaktif. Hei, bu dokter, sekali-kali periksalah dirimu sendiri.
Ini yang kadang aku kurang suka dari perempuan, sikap dan perilakunya kadang mudah berubah dan sulit ditebak. Di satu sisi kadang mereka sangat baik dan perhatian, di sisi lainnya kadang juga mereka cuek dan mudah marah, tak kenal waktu, tempat maupun situasi. Beruntung saja saat ini sekolah sudah mulai sepi sehingga tidak ada yang menyaksikan kejadian ini. Hanya ada penjaga sekolah yang mondar-mandir memeriksa pintu kelas.
Berhubung hari sudah sore dan perutku sudah mulai lapar. Kuputuskan untuk segera pulang ke rumah. Kurapihkan kembali pakaianku yang sempat kusut lalu berjalan pergi meninggalkan sekolah.
[***]
"Kak Ady, beneran mau mulai kegiatan klub?" Reva dan Ratna yang berdiri disampingku terus bertanya sepanjang hari ini, lucu tapi kadang membuatku kesal.
Memang beberapa jam yang lalu aku memberitahu mereka bahwa hari ini aku akan memulai kegiatan klub literatur. Tapi tak kusangka reaksi mereka begitu antusias mendengar kabar ini, ya setidaknya beberpaa dari mereka.
"Iyaaa... Kan sudah kakak kasih tau tadi pagi," jawabku dengan nada sedikit kesal.
"Asik!" Reva tersenyum gembira sekali, rambutnya yang pendek sebahu dengan jepit rabut kecil menempel di poninya membuatnya sangat manis.
"Jadi kapan mulainya?"
"Kalo bisa sekarang, sekarang juga boleh. Pelajaran juga sudah selesai, kan?" Kurapihkan bukuku yang bertebaran di atas meja guru.
"Hmm... Tapi kan..." Reva berfikir, sesekali matanya melirik ke arah Nadhifa dan Fajar yang berada di belakang, seperti meminta persetujuan.
"Ya udah kak, yuk!" lanjutnya setelah mendapat persetujuan dari Nadhifa dan Fajar yang disimbolkan dengan anggukan dari keduanya.
"Ayo!" Jawabku menerima ajakan Reva.
Sepertinya ada yang sedikit aneh dari mereka, tapi aku malas untuk mengurusinya. Sudah cukup muak aku dengan hal-hal ganjil di desa ini.
Aku, Reva dan Ratna berjalan menuju ruangan klub literatur sementara Nadhifa dan Fajar mengikuti dari belakang.
"Sebentar, kakak belum tau lho apa yang kalian kerjakan di klub literatur."
Sambil berjalan menuju ruang klub, aku berbicara agar suasana lebih cair.
Sebetulnya aku tahu banyak tentang klub literatur karena aku pernah menjadi anggota klub literatur di SMA dulu. yah, mungkin disini agak beda tapi toh yang namanya klub literatur dimana-mana juga tidak berjauhan dengan hal tulis-menulis atau baca-membaca.
"Masa sih, kakak pasti bohong nih," ejek Reva.
"Beneran lho, hmm, coba aku pikir dulu..." Aku bergaya pura-pura berfikir "Klub menulis kan?" tebakku asal.
"Bisa juga sih, tapi bukan cuma itu."
"Terus apa dong?"
"Selain menulis, klub kami juga meneliti macam-macam karya literatur, beberapa diantarnya itu ada yang berbentuk pita rekaman, piringan hitam, lukisan, sama film," jelas Reva dengan sangat semangatnya.
"Wah, hebat dong, kakak pikir cuma nulis sama baca aja," timpalku sambil tersenyum.
"Nggaklah, bosan aku kalo cuma gitu doang."
"Oh iya kak, kami belum punya alat untuk memutar film di klub kami, padahal aku pengen banget bisa belajar tentang film," ucap Reva melanjutkan penjelasannya.
"Kenapa kamu gak minta ke OSIS atau ke bagian Tata Usaha?"
"Ih, kakak lucu deh, mana ada OSIS di sekolah kami, muridnya aja cuma ada 10 orang," jawab Reva.
"Benar juga."
"Dulu Kak Nadhifa sama Kak Fajar udah minta ke Kepala Sekolah sih, tapi sampe sekarang gak ada tanggepan dari kepala sekolah," lanjutnya sambil dengan ekspresi cemberut.
"Kok bisa?" Tanyaku heran.
"Katanya sih harus ambil ke Kota, ke kantor apa ya... Hmm.. Aku lupa-"
"Departemen Pendidikan." Nadhifa yang sedari tadi berjalan membisu dibelakangku tiba-tiba berteriak kepada kami memotong pembicaraan Reva. Rupanya dia mendengarkan pembicaraan aku dan Reva.
"Nah itu, Departemen Pendidikan. Kakak mau kan tolong ambilkan?" pinta Reva padaku.
"Untuk yang itu mungkin bisa kita bahas lain waktu," jawabku. Aku bukan malas atau sengaja menggantung mereka, tapi aku masih baru disini, dan aku belum mengerti sepenuhnya tentang sistem pendidikan di negara ini.
Tak berapa lama kemudian, kami sampai di sebuah bangunan. Bangunan ini berada di belakang gedung tempatku mengajar. Terdiri dari beberapa ruangan dan salah satunya adalah ruangan klub literatur.
"Kak Fajar, boleh aku yang membuka kuncinya?" dengan imutnya Ratna meminta kunci kepada Fajar.
"Tentu saja Ratna," jawab Fajar sambil tersenyum lalu memberikan sebuah kunci kepada Ratna.
"Jadi kamu yang memegang kuncinya?" tanyaku pada Fajar.
"Eh, iya, Kak. Soalnya kupikir lebih baik aku saja yang pegang, kebetulan juga aku yang paling besar disini,"
Fajar menjawab pertanyaanku dengan jelas, sebenarnya aku hanya basa-basi saja bertanya kepadanya karena kulihat dia diam saja dari tadi.
Ratna yang sedari tadi berusaha dengan keras membuka pintu ruangan akhirnya terbuka juga.
Begitu pintunya dibuka, tiba-tiba kami disambut oleh debu-debu yang menempel dipintu. Ratna dan Reva yang berada di depan sampai bersin-bersin karena hidung mereka menghirup debu.
"Lho, Ini kenapa seperti ini?" Reaksiku spontan melihat keadaan ruangan yang kotor dan berantakan sekali. Meja yang terbalik, Kursi dan buku-buku berserakan dimana-mana. Belum lagi debu-debu yang menempel di semua benda yang ada di dalam ruangan tersebut.
"Maaf, kak. Kami lupa memberi tahu kalo klub kami sudah tidak aktif selama 10 bulan," jawab Fajar yang tidak tega melihatku keheranan.
"Terus gimana sekarang?" tanyaku dengan nada sedikit kesal.
Padahal ini adalah waktu yang pas untuk bercengkrama dengan anak-anak membahas tentang klub ini, juga mencari tahu tentang senandung itu. tapi aku tak tahu jika akhirnya seperti ini. Sebenarnya masih ada waktu untuk membersihkannya, tapi aku tak tega menyuruh mereka untuk membersihkannya saat ini juga.
==========================================================================
Yo, kembali lagi bersama cerita bersambung buatan saya dan teman saya. Kali ini memori six, 2 memori lagi dan ini akan selesai.
Sebelumnya Selanjutnya
Memori Five Memori Seven
~Story Index : "Click Here"
Written by Uji
=============================================
~Chapter VI
------------------------------
"Literature Club"
------------------------------
abubakarmori.wordpress.com |
Kalau dipikir-pikir, sudah sekitar satu bulan semenjak kedatanganku kesini, desa Kalimaya yang kuanggap misterius. Ya, tidak salah kusebut misterius. Aku bukannya berfikiran negatif tentang desa ini, aku hanya berbicara berdasarkan fakta dan kejadian yang menimpaku setibanya aku di desa ini. Sebut saja kejadian saat aku jatuh terpeleset di tengah-tengah sungai. Aku kadang tertawa memikirkan kejadian tersebut. Aku masih belum mengerti apa yang bisa membuatku repot-repot turun ke sana. Mencari sosok gadis bunuh diri? Yang benar saja! Sampai saat ini bahkan aku belum pernah menemukan mayat atau sekedar mendengar kabar seseorang mati di sungai.
Namun belakangan ini perhatianku kembali direnggut oleh senandung yang dinyanyikan oleh bayangan pada malam hari tadi, senandung itu juga dinyanyikan oleh anak-anak desa yang aku kenal. Ah, haku heran dengan isi kepalaku ini, sepertinya otakku agak terganggu akhir-akhir ini.
"Selesai." Aurora Valentika, dengan wajah manisnya tersenyum lembut kepadaku. Dengan sabar dirinya mengganti perbanku yang sudah agak kusam ini. Butuh sekitar 15 menit baginya untuk mengobati dan mengganti perbanku dengan perban yang baru. Sebenarnya aku bisa saja mengganti perbanku ini sendiri, tapi kan, untuk apa ada UKS di sekolah ini jika tidak dimanfaatkan dengan maksimal.
Tapi sayang sekali aku bukan orang yang seperti itu. Sebenarnya tadi kepalaku agak sedikit pusing dan keadaanku tidak memungkinkan untuk mengganti perban ini sendiri. Lagipula aku ingin sekalian berbicara dengan Aurora. Ada satu hal yang perlu aku tanyakan.
"Jadi, apa itu?" sambil membereskan alat-alat bekas mengobatiku, ia mengagetkanku.
"Maksudmu?" Balasku heran, aku tak mengerti apa yang ia bicarakan.
"Ayolah, kamu kesini pasti bukan cuma untuk sekedar ganti perban, kan?"
Hebat. siapa kamu? Cenayangkah? Aku sempat merinding ketakutan lho, karena kupikir kamu bisa membaca pikiranku.
"Tentang gadis itu lagi ya? Bukannya sudah kuceritakan dengan cukup jelas kemarin? Hmm," Jarinya ia ketuk-ketukan di dagunya, berpose seperti orang yang sedang berfikir, tapi aku tahu kalau sebenarnya ia sedang menggodaku. "Atau kamu bertemu dengan sosok itu lagi?" lanjutnya.
Sepertinya gadis ini perlu mendapat penghargaan karena menebak dengan tepat dua kali berturut-turut. Walaupun sepertinya yang ini tidak terlalu tepat.
"Begini..."
Akupun bercerita dengan lantang apa yang terjadi padaku belakangan ini, aku sebenarnya kurang suka terlalu terbuka dengan seseorang seperti ini, namun dari beberapa buku psikologi yang pernah kubaca, memendam masalah di dalam diri sendiri itu tidak baik bagi kesehatan. Bahkan di negaraku, banyak sekali kasus bunuh diri yang disebabkan karena masalah psikologi seperti ini. Aku tidak ingin seperti mereka, mati dengan masalah yang belum mereka selesaikan.
Kuceritakan pada Aurora tentang kejadian semalam, tentang sosok yang kuikuti malam tadi, tentang senandung, juga tentang percakapan anehku dengan Nadhifa.
Wajah Aurora tampak tidak begitu serius mendengarkan ceritaku, sesekali matanya berkedip tidak konsisten dan kadang tidak fokus, seperti orang yang menyembunyikan sesuatu. Bahkan Reaksi yang ia keluarkan dari mulutnya hanya sebatas "oh." "Ya." "Begitu."
Selesai aku bercerita, ia lalu berdiri dan berjalan mendekat ke jendela. Wajahnya ia biarkan terkena sinar matahari sore yang mulai berwarna kuning keemasan.
Sementara ia berdiri disana, aku duduk tertegun dibelakangnya, melihatnya saat ini seperi melihat sesuatu yang lain dari dirinya. Walaupun aku baru beberapa kali bertemu dengannya, namun aku sudah mulai merasa nyaman dengannya. mungkin karena dia tipe orang yang mudah akrab dengan orang lain, termasuk orang asing sepertiku.
"Ini sepertinya akan selesai dalam waktu dekat." dengan tatapan mata yang tertuju keluar jendela, ia berbicara cukup pelan, tapi aku bisa menangkap perkataannya dengan jelas.
"Jadi, senandung apa itu?" tanyaku.
"Senandung yang mana?"
"Hah!? Kamu beneran dengar ceritaku, kan?"
"Tentu saja, aku hanya menggodamu, pak guru. Senandung yang dinyanyikan anak-anaknya itu kan? Tidak ada yang aneh dengan senandung itu, menurutku. Hanya saja..."
Ia terhenti, tubuhnya menutupi sinar matahari masuk kedalam ruangan, sementara matanya masih menatap keluar jendela. Hanya saja kali ini, sorotan matanya terlihat lebih sendu.
"Eh, bukannya kemarin kamu bilang ditawari jadi pembimbing Klub Literatur ya?" tanyanya sambil membalikan badannya menghadap kepadaku.
Kebiasaan, selalu saja ia mengalihkan pembicaraan. Walaupun aku cukup terkesan juga dengan kemampuannya mengalihkan pembicaraan, ia selalu bisa mencari topik yang membuatku tak bisa membantah.
Aku baru ingat selama ini aku pernah ditawari jadi pembimbing klub, pantas saja aku merasa ada sesuatu yang kulupakan.
"Mendingan kamu temui anak-anak itu, terus mulai kegiatan klub, udah hampir telat lho," Ucapnya.
"Tapi, gimana dengan-"
Belum habis aku menyelesaikan kalimatku, gadis berambut hitam lurus itu mendorong tubuhku keluar ruangan.
-BRUKK-
Suara pintu yang tertutup terdengar sangat kencang. Bahkan burung gereja yang daritadi mencari makan di halaman sekolah terbang berhamburan ke segala arah.
Sialan, apa-apaan gadis itu! Sikapnya mudah sekali berubah. Aku curiga dia punya penyakit mood disorder yang bisa dipicu karena terlalu banyak mengkonsumsi alkohol atau obat psikoaktif. Hei, bu dokter, sekali-kali periksalah dirimu sendiri.
Ini yang kadang aku kurang suka dari perempuan, sikap dan perilakunya kadang mudah berubah dan sulit ditebak. Di satu sisi kadang mereka sangat baik dan perhatian, di sisi lainnya kadang juga mereka cuek dan mudah marah, tak kenal waktu, tempat maupun situasi. Beruntung saja saat ini sekolah sudah mulai sepi sehingga tidak ada yang menyaksikan kejadian ini. Hanya ada penjaga sekolah yang mondar-mandir memeriksa pintu kelas.
Berhubung hari sudah sore dan perutku sudah mulai lapar. Kuputuskan untuk segera pulang ke rumah. Kurapihkan kembali pakaianku yang sempat kusut lalu berjalan pergi meninggalkan sekolah.
[***]
"Kak Ady, beneran mau mulai kegiatan klub?" Reva dan Ratna yang berdiri disampingku terus bertanya sepanjang hari ini, lucu tapi kadang membuatku kesal.
Memang beberapa jam yang lalu aku memberitahu mereka bahwa hari ini aku akan memulai kegiatan klub literatur. Tapi tak kusangka reaksi mereka begitu antusias mendengar kabar ini, ya setidaknya beberpaa dari mereka.
"Iyaaa... Kan sudah kakak kasih tau tadi pagi," jawabku dengan nada sedikit kesal.
"Asik!" Reva tersenyum gembira sekali, rambutnya yang pendek sebahu dengan jepit rabut kecil menempel di poninya membuatnya sangat manis.
"Jadi kapan mulainya?"
"Kalo bisa sekarang, sekarang juga boleh. Pelajaran juga sudah selesai, kan?" Kurapihkan bukuku yang bertebaran di atas meja guru.
"Hmm... Tapi kan..." Reva berfikir, sesekali matanya melirik ke arah Nadhifa dan Fajar yang berada di belakang, seperti meminta persetujuan.
"Ya udah kak, yuk!" lanjutnya setelah mendapat persetujuan dari Nadhifa dan Fajar yang disimbolkan dengan anggukan dari keduanya.
"Ayo!" Jawabku menerima ajakan Reva.
Sepertinya ada yang sedikit aneh dari mereka, tapi aku malas untuk mengurusinya. Sudah cukup muak aku dengan hal-hal ganjil di desa ini.
Aku, Reva dan Ratna berjalan menuju ruangan klub literatur sementara Nadhifa dan Fajar mengikuti dari belakang.
"Sebentar, kakak belum tau lho apa yang kalian kerjakan di klub literatur."
Sambil berjalan menuju ruang klub, aku berbicara agar suasana lebih cair.
Sebetulnya aku tahu banyak tentang klub literatur karena aku pernah menjadi anggota klub literatur di SMA dulu. yah, mungkin disini agak beda tapi toh yang namanya klub literatur dimana-mana juga tidak berjauhan dengan hal tulis-menulis atau baca-membaca.
"Masa sih, kakak pasti bohong nih," ejek Reva.
"Beneran lho, hmm, coba aku pikir dulu..." Aku bergaya pura-pura berfikir "Klub menulis kan?" tebakku asal.
"Bisa juga sih, tapi bukan cuma itu."
"Terus apa dong?"
"Selain menulis, klub kami juga meneliti macam-macam karya literatur, beberapa diantarnya itu ada yang berbentuk pita rekaman, piringan hitam, lukisan, sama film," jelas Reva dengan sangat semangatnya.
"Wah, hebat dong, kakak pikir cuma nulis sama baca aja," timpalku sambil tersenyum.
"Nggaklah, bosan aku kalo cuma gitu doang."
"Oh iya kak, kami belum punya alat untuk memutar film di klub kami, padahal aku pengen banget bisa belajar tentang film," ucap Reva melanjutkan penjelasannya.
"Kenapa kamu gak minta ke OSIS atau ke bagian Tata Usaha?"
"Ih, kakak lucu deh, mana ada OSIS di sekolah kami, muridnya aja cuma ada 10 orang," jawab Reva.
"Benar juga."
"Dulu Kak Nadhifa sama Kak Fajar udah minta ke Kepala Sekolah sih, tapi sampe sekarang gak ada tanggepan dari kepala sekolah," lanjutnya sambil dengan ekspresi cemberut.
"Kok bisa?" Tanyaku heran.
"Katanya sih harus ambil ke Kota, ke kantor apa ya... Hmm.. Aku lupa-"
"Departemen Pendidikan." Nadhifa yang sedari tadi berjalan membisu dibelakangku tiba-tiba berteriak kepada kami memotong pembicaraan Reva. Rupanya dia mendengarkan pembicaraan aku dan Reva.
"Nah itu, Departemen Pendidikan. Kakak mau kan tolong ambilkan?" pinta Reva padaku.
"Untuk yang itu mungkin bisa kita bahas lain waktu," jawabku. Aku bukan malas atau sengaja menggantung mereka, tapi aku masih baru disini, dan aku belum mengerti sepenuhnya tentang sistem pendidikan di negara ini.
Tak berapa lama kemudian, kami sampai di sebuah bangunan. Bangunan ini berada di belakang gedung tempatku mengajar. Terdiri dari beberapa ruangan dan salah satunya adalah ruangan klub literatur.
"Kak Fajar, boleh aku yang membuka kuncinya?" dengan imutnya Ratna meminta kunci kepada Fajar.
"Tentu saja Ratna," jawab Fajar sambil tersenyum lalu memberikan sebuah kunci kepada Ratna.
"Jadi kamu yang memegang kuncinya?" tanyaku pada Fajar.
"Eh, iya, Kak. Soalnya kupikir lebih baik aku saja yang pegang, kebetulan juga aku yang paling besar disini,"
Fajar menjawab pertanyaanku dengan jelas, sebenarnya aku hanya basa-basi saja bertanya kepadanya karena kulihat dia diam saja dari tadi.
Ratna yang sedari tadi berusaha dengan keras membuka pintu ruangan akhirnya terbuka juga.
Begitu pintunya dibuka, tiba-tiba kami disambut oleh debu-debu yang menempel dipintu. Ratna dan Reva yang berada di depan sampai bersin-bersin karena hidung mereka menghirup debu.
"Lho, Ini kenapa seperti ini?" Reaksiku spontan melihat keadaan ruangan yang kotor dan berantakan sekali. Meja yang terbalik, Kursi dan buku-buku berserakan dimana-mana. Belum lagi debu-debu yang menempel di semua benda yang ada di dalam ruangan tersebut.
blogs.unpad.ac.id |
"Maaf, kak. Kami lupa memberi tahu kalo klub kami sudah tidak aktif selama 10 bulan," jawab Fajar yang tidak tega melihatku keheranan.
"Terus gimana sekarang?" tanyaku dengan nada sedikit kesal.
Padahal ini adalah waktu yang pas untuk bercengkrama dengan anak-anak membahas tentang klub ini, juga mencari tahu tentang senandung itu. tapi aku tak tahu jika akhirnya seperti ini. Sebenarnya masih ada waktu untuk membersihkannya, tapi aku tak tega menyuruh mereka untuk membersihkannya saat ini juga.
==========================================================================
Yo, kembali lagi bersama cerita bersambung buatan saya dan teman saya. Kali ini memori six, 2 memori lagi dan ini akan selesai.
Sebelumnya Selanjutnya
Memori Five Memori Seven
Gue nggak ngikutin semua cerita ini nih. Kayaknya gue harus baca dari awal. Melalui gambar-gambar yang bias alu sertain, gue mau nanya, biasanya untuk membuat suatu cerita lu dapet inspirasinya dari ngeliat gambar ya?
BalasHapusCeritanya keren, Bahasanya ngalir. kayaknya gue harus banyak belajar dari sini nih
itu kalau cerita ane sendiri gan
Hapusini cerita bersama, yang nulis kali ini juga temen ane bukan ane
tulisan ane ntar di memori 7
terimakasih
Belum baca yang sebelumnya nih, ngacir dulu ya gan..
BalasHapusTapi senandungnya juga dibahas di bagian sebelumnya kan? Setuju sama ari kalau tulisannya bagus, mengalir. Harus rajin-rajin latihan biar bisa bikin kayak gini
iya... udah dibahas di chapter 5 kemarin
HapusIni cerbung, ya. Gue kira cerpen gitu aja.
BalasHapusGue suka karakter dalam cerita. Biasa sekuat itu membangun karakter yang sebenarnya gak diketahui.
Owalah, ini karya temenmu, ya. Bagus. Ditunggu aja, kelanjutannya.
iya pangeran... ini karya bersama
Hapuspart ini tulisan temenku
nanti di memori 7 minggu depan baru tulisan saya
muridnya sepuluh, 10 bulan gak aktiv. terus? 10 hari kemudian aktif lagi :D
BalasHapusliat ilustrasi gambarnya jadi horor ya? Jadi kayak misterius-misteriusan gitu.
ahahaha
Hapusemang sedikit horor kok ceritanya
entah kenapa gue jadi inget film jepang yang judulnya bandage club. nyesek sih tapi akhirnya kalau tau klub udah nonaktif selama 10 bulan.. huhuhu
BalasHapusiya...karena murid sedikit jadi clubnya gk aktif lagi
HapusWahh.., saya baru baca sampai part 2, sekarang sudah part 5.
BalasHapusKayaknya saya harus baca dulu yang part 3 dan seterusnya...
silahkan sist
Hapusditunggu komennya
Gue gak tau cerita sebelumya sih. Ini cerita gaya bahasanya bagus. Ada manis-manisnya gitu. Tapi masa muridnya cuma sepuluh sih? Ini fiksi atau nyata?
BalasHapusiya gan
Hapusini fiksi kok
terinspirasi dari sebuah anime
Wahh.. Makin kesini ceritanya makin seru nihh.. Bahasanya juga ringan, mudah dimengerti, pendeskripsiannya juga, beserta gambar lagi, makin asik :D Ini bikin ceritanya juga di pikirin bareng2 ya? Seru ya:(
BalasHapusMisteri belum terpecahkan nih.. Nanti kali ya di memori 7 dan 8 akan dikupas habis. Haha
sebenernya, nggak ada penjelasan untuk misterinya untuk chapter-chapter depn
HapusWah, saya dan pak guru satu pemikiran. Masih dipenuhi rasa penasaran dengan segumpal misteri yang ada di desa Kalimaya itu.
BalasHapusApakah nanti club literatur ini akan ada hubungannya dengan misteri-misteri itu? karena beberapa dari cerita ini selalu menyinggung club literatur. Tapi itu cuma tebakan saja...
Tinggal 2 chapter lagi dan selesai.., yang semangat yah menulisnya....
iya.... masih semangat kok nulisnya
Hapusmungkin aja, ada hubungn